Menghakimi Orang Lain dan Ketidakbersyukuran

Berikut ini nasihat dari seseorang yang sering memberi nasihat kepada saya. Ia menyampaikannya dalam konteks ketidakbersyukuran manusia, dan kecenderungan manusia untuk menghakimi orang lain.

Ini kisah yang pernah terjadi pada seorang wali. Suatu ketika ia melihat seekor kucing di dekatnya. Kucing ini, bulunya kering dan rontok di sana sini… pendek kata, buruk rupanya.

Lalu terlintas kata-kata di hati sang wali, “Buruk sekali kucing ini..”

Seekor kucing, sebagaimana hewan lainnya, adalah makhluk yang menerima dengan sepenuh hati kehendak Allah atas dirinya. Sejak zaman azali, mereka menerima dan menyerahkan dirinya sepenuhnya sesuai kehendak Allah, seperti apapun perannya. Mereka ikhlas, ridho, dan tidak protes sedikitpun. Mereka begitu tunduk dan ridho dengan ketetapan Allah.

Si kucing, sebagai makhluk yang tanpa dosa, tentu saja mendengar lintasan hati sang wali ini. Ia tidak perduli jika yang mengatakan seperti itu adalah orang yang tidak beriman. Tetapi ketika yang mengatakan bahwa dirinya buruk adalah seorang wali, yang semestinya telah memahami konsep misi hidup dan Shirat Al-Mustaqiim, maka mengadulah ia kepada Allah. Pengaduan sang kucing langsung didengar olah Allah.

Cerita selanjutnya, Allah menjadi murka pada sang wali karena lintasan hatinya yang menandakan kesombongan itu. Hanya karena lintasan hati terhadap seekor kucing yang buruk.

Kita tidak berhak sama sekali menilai orang maupun makhluk lain. Apakah rupanya yang buruk, kondisinya yang miskin, kaya, berandal, pendosa, tidak bermanfaat, dan sebagainya. Sebab semuanya sedang menjalankan ketetapan Allah, yang dibuat-Nya dengan tangan-Nya sendiri.

Kondisi kehariinian apapun yang sedang diajalani makhluk, sesungguhnya di sana ada sebuah pintu langit menuju Allah.

Kunci terbukanya pintu ini adalah ridho. Ridho dengan apa yang ada pada kita hari ini, dengan keadaan fisik kita, dengan hasil yang telah kita usahakan dengan jujur, maupun dengan keadaan diri maupun kemampuan kita (menurut Ibnu Arabi: ridho dengan hasil halal kerja keras tangan kita, bukan ridho dengan malas dan tidak berbuat apapun–red). Tingkatkan kemampuan diri kita kalau mau, tapi yang terutama, awalilah dengan sebuah keridhoan bahwa untuk saat ini, Dia baru mengizinkan saya memiliki kemampuan sejauh ini.

Juga tak kalah penting, ridho dengan segala kepedihan dan kesusahan yang pernah menimpa kita, karena pada hakekatnya itu semua terjadi dengan izin Allah, sebagai jalan untuk datang menuju Allah. Tanpa masalah, kita tidak akan rindu pertolongan-Nya.

Umumnya manusia, semenjak berkaca pertama kali di pagi hari sudah menggerutu: kenapa saya begini? Kenapa saya tidak cantik? Kenapa saya berkulit gelap? Kenapa jalan macet? Kenapa bis penuh sekali? Terus saja, sepanjang hari ada saja yang menjadi bahan lintasan gerutuan hatinya. Dari hal paling awal pada permulaan hari, hatinya sudah tidak ridho, dan terlus berlanjut sepanjang hari. Esoknya terulang demikian pula.

Yang membuat qalb seorang pejalan menjadi sempit maupun mati, yang menyebabkan kejumudan, adalah tidak mau menerima kehendak Allah ta’ala. Ini yang menyebabkan jumud, dan kematian qalb.

Ibaratnya, kita telah sejak awal ditetapkan mengalir di sungai besar kehendak-Nya. Jalanilah. Ditempatkan dalam sebuah pekerjaan, berkaryalah. Dalam sebuah kondisi, ikhlaslah, jalani saja (Ibnu Arabi: teruslah minta bimbingan dan tuntunan. Mintalah agar jangan pernah berhenti dialirkan).

Semua yang sampai pada kita terjadi di bawah perencanaan Allah. Ia tidak akan merancang bencana bagi mereka yang sejak awal berniat mempercayakan dirinya pada pengaturan Allah semata.

Kalau kita tidak ridho, itu bagaikan kita sendirian berbalik arah melawan arus sungai kita sendiri. Tentu saja akan letih dan airnya menampar-nampar diri kita sendiri.

P.S. :

Masalah ini dibahas dengan bagus sekali oleh Ibnu Arabi dalam buku kecil dan tipis terbitan Serambi, “Selamat Sampai Tujuan: Panduan Bagi Penempuh Jalan Iman, “ pada bagian ‘Menempuh Jalan’. Di sana dibahas tentang pentingnya dunia, bahwa sesungguhnya dunia tidaklah buruk. Bagaimana menjalani kehidupan, arti kehidupan, ujian-ujian dari syeikh, dan lain-lain.

Berbeda dengan umumnya buku Ibnu ‘Arabi yang sangat konseptual dan berat, buku ini sangat mudah dan operasional. Recommended.

17 thoughts on “Menghakimi Orang Lain dan Ketidakbersyukuran

  1. Nasihatnya baik, mas Hery, seperti tulisan-tulisan lainnya (yang komprehensif). Tetapi, kadang saya suka bertanya sendiri, mengapa ada kebiasaaan kita yang cukup sering mengarang cerita yang lalu dinisbatkan kepada Allah. Walaupun niatnya baik, tetapi bolehkah kita melakukan itu? Bagi orang awam, seolah-olah kisah amsal itu adalah fakta. Mohon pandangannya?

    :”Tetapi ketika yang mengatakan bahwa dirinya buruk adalah seorang wali, yang semestinya telah memahami konsep misi hidup dan Shirat Al-Mustaqiim, maka mengadulah ia kepada Allah. Pengaduan sang kucing langsung didengar olah Allah.

    Cerita selanjutnya, Allah menjadi murka pada sang wali karena lintasan hatinya yang menandakan kesombongan itu. Hanya karena lintasan hati terhadap seekor kucing yang buruk.”

    Salam, Anwar.

  2. Hehe.. sebenarnya saya tadi sebelum menulis juga agak ragu dari sisi itu 🙂 tapi akhirnya, karena kisah itu menyentuh saya, maka saya memuatnya.

    Sebenarnya (boleh percaya boleh tidak) yang menceritakan kisah itu kepada saya adalah seorang yang kebetulan memiliki kedudukan spiritual yang tinggi dalam dunia tasawuf. Sependek pengetahuan saya beliau tidak pernah mengutip sesuatu yang tanpa dasar, hanya waktu itu saya tidak menanyakan sumbernya. Saya kira beliau tidak mengarang-ngarangnya ya.

    Tapi komentar mas Anwar ini membuat saya berfikir juga, sebenarnya. Rasanya kalau kita mengarang-ngarang cerita kemudian kita nisbatkan kisah itu pada Allah, rasanya kok ‘kurangajar sekali’ gitu ya. Berani-beraninya.

    Saya kira, paling tidak seharusnya disebutkan di akhir bahwa kisah yang kita ceritakan itu fiktif. Tapi dari kisah di atas, saya tidak berani bilang bahwa kisah itu fiktif, mengingat kaliber orang yang menceritakannya.

    Terimakasih banyak Mas Anwar… saya kira komentar Mas Anwar ini akan saya ingat.

  3. Saya sering mengunjungi blog mas herry, dan saya sangat seneng dengan artikel/tulisan yang mas herry muat.
    Saya juga lagi berpikir tentang hal yang sama. Beberapa hari yang lalu saya sempat diskusi dengan teman saya, kenapa ya banyak orang yang diberi kemudahan dalam hidupnya, padahal kita tahu dia sering berbuat licik dan kecurangan, Dan kenapa pula orang yang kita tahu beriman banyak mendapat cobaan, Mungkin mas herry bisa memberi penjelasan tentang hal ini….
    Saya sangat susah untuk menalarnya….Dan salah seorang teman bertanya, mungkinkan setiap orang didunia ini pasti akan mendapat cobaan?
    Emang kita sering mendengar di ceramah2 kalau ujian itu bisa berupa musibah atau bisa berupa kenikmatan…Tapi dalam aplikasi kehidupan susah sekali untuk menerimanya….
    Mohon pencerahannya donk….

  4. @ bening, makasih banyak… 🙂 tapi jawabannya perlu tulisan sendiri. Nanti mudah-mudahan sempat…

  5. OOT……Mas herry, ngikuti kisah ibu yang ngebunuh 3 orang anaknya? kalau nggak salah mereka khan aktivis salman…Tolong donk pencerahannya mas herry, kenapa bisa begitu?

  6. @ sedgejenar, terimakasih juga atas pertanyaannya 🙂 Dan kunjungannya, tentu saja… semoga bermanfaat.

  7. Assalamualaikum
    om….mau nanya juga nih…
    Sebentar aja saya sempet ngerasa alim banget…deket banget ama Allah….tapi dengan waktu yang singkat berubah lagi jadi gila dan waktunya tentu lebih panjang dari waktu alim hehehe…
    Banyak orang bilang kalo mau deket ama Allah terus lah ibadah…sedangkat hidup ini sebenernya semua nya ibadah…tapi ko suli yah…. jangankan jalanin ibadah yang hasilnya insyaAllah pahala, jalanin hidup sehari tanpa dosa aja susah kalo ga diem aja di kamar sendirian…..
    Tolong mas… bantu saya yang dengan hati dan otak sebenar2 nya sangat pengen mencium tanah surga kelak..
    Wassalam

  8. Ass. wr. wb.

    Alhamdulillah…, secara tidak sengaja menemukan blog mas Herry.

    Pertama kali melihat langsung tertarik…..

    Blog yang sangat menarik…, terutama artikel Islaminya.

    Kalau berkenan….mohon komentar di buku tamu pada web : http://www.hajiumroh.com

    Terimakasih

    Wass. wr. wb.

  9. afwan,apakah kita hidup hanya untuk mengutip perkataan wali anu dan wali anu dan kita sebarkan kekhalayak ramai, sedang kita sendiri tak pernah merasakan wujud Allah sendiri .kan yang tahu wali hanyalah wali .mohon penjelasan,

  10. @ Kinceu : terimakasih kembali 😉

    @Arief : halah. Antum kok yaqin ana bukan wali, dan menghakimi bahwa ana melewati hiduf hanya dengan mengutif wali anu dan wali anu tanfa fernah merasakan kehadiran Allah? Siafa tahu ana juga wali, sehingga ana mengetahui wali dan bercerita tentang wali 😛 afwan akheee….

  11. :lol:aku percaya, kalau Mas Herry Wali, buktinya bisa ngejawab yang gaya jawa dengan jawa, gaya bahasa, dengan bahasa, yang arabic dengan arabic…he..he…,
    cuma bukunya yang namanya herry sepertinya nyampur banget…, katanya masing-masing ada kitabnya…he..he…, apa maksudnya agar orang..titik..titik…? he..he..

Leave a reply to Herry Cancel reply