Bangku Belakang

Oleh Sofie Dewayani, dimuat di Koran Tempo edisi 17 Mei 2009.

PADA hariku yang lelah, warnet adalah tempat istirah. Di dunia maya aku bisa menyapa teman-teman lama. Ceria, tertawa, seperti dulu waktu SMA. Cerita nostalgia, kabar bahagia, terpampang bergantian seperti pajangan. Mataku menelan lembar demi lembar layar, menyusuri kota demi kota. Teknologi memang gila. Ruang dan waktu dirangkumnya dalam satu sentuhan jemari saja.

Tak heran orang menyebutnya dunia maya. Jejaring pertemanan ini meleburkan peristiwa dan masa. Aku bisa tergelak oleh kisah lama, tersenyum memandangi potret kelabu masa remaja. Aku menyeletuk sekadarnya, tapi lebih sering menyaksikannya saja. Aku tak ingin beranjak dari bangku belakang. Seperti dulu, waktu SMA.

Sayang Tino tak tahu bagaimana nikmatnya. Katanya, bernostalgia seperti itu membuang waktu saja. Padahal aku tahu diam-diam dia ingin tahu kabar teman-teman lama.

“Semua menanyakan kamu,” aku meyakinkannya. “Harno kirim salam. Dia kerja di perusahaan penerbangan. Bambi sudah jadi bos sekarang. Kardiman sudah lama tinggal di Jerman. Vina, Karina, Mira, sudah punya anak remaja. Kamu pasti nggak percaya, Bian jadi kandidat pilkada.”

“Hebat,” celetuknya. Namun matanya tak lepas dari roda sepeda di tangannya.

“Memangnya kamu tahu semua itu dari mana?” Tino membetulkan letak kacamatanya dengan punggung tangannya. Jemarinya berlumur gemuk. Sebuah rangka sepeda terburai di depannya, tak berbentuk. Aku membungkukkan tubuh, agar suaraku mengalahkan deru bajaj yang terbatuk-batuk.

“Dari internet tentu. Ayo, kapan kita ke warnet sama-sama? Aku yang bayar. Nanti kutunjukkan foto-foto mereka. Kamu bisa bikin akun Facebook, lalu ngobrol dengan mereka.”

“Buat apa? Aku akan memamerkan apa?” Dia tertawa. Aku diam saja.

“Aku bukan lagi komandan upacara, Sam.” Tino berdiri lalu melempar lap yang bergemuk seperti jemarinya. Tak ada yang akan mengira bahwa bibirnya yang kehitaman itu pernah berteriak lantang memimpin upacara bendera. “Aku bukan siapa-siapa,” ujarnya.

“Aku juga bukan, No.” Tawaku terdengar mengambang.

“Aku malas. Kalau aku menang undian, boleh deh aku kontak mereka.” Dia tertawa.

“Apa kamu pernah cerita tentang aku?” Tino tak mengangkat kepalanya. Tangannya sibuk mengusap jeruji sepeda.

Aku menggeleng. Bengkel ini terlalu kusam dan temaram, tak seperti pendar dunia maya yang menentramkan. Di sana, semuanya harus sempurna, tampak bahagia. Foto keluarga terpajang. Anak-anak berpose lucu menggemaskan. Keluarga berpelukan mengumbar tawa, berlatar eksotika tempat wisata. Semuanya harus indah untuk dikenang, seperti masa-masa SMA.

“Lagipula, apa iya mereka akan ingat aku?” gumamnya.

“Dibandingkan teman-teman kita, kamu nggak berubah sejak SMA,” jawabku.

Tino mengerlingku. Senyumnya masam. Aku memalingkan mataku ke arah kali yang kehitaman di bawah jembatan. Siapapun akan mengakui bahwa Tino tak banyak berubah. Dia tidak botak, tidak gendut. Rambutnya pun tak memutih. Dia hanya terlihat sedikit tua, dan kusam. Juga letih, ringkih. Legam, mengisut oleh garang debu jalanan.

Dulu, bangkuku dan bangku Tino bersebelahan. Karenanya, kutahu pasti Tino tak pernah mencatat pelajaran. Buku catatannya penuh berisi gambar-gambar. Dia hanya belajar dari fotokopian catatan teman-teman perempuan. Dia juga setia kawan, rajin membagi contekan. Tak seperti aku yang suka menyendiri di sudut bangku belakang, Tino punya banyak teman. Meskipun bukan yang paling pintar, kutahu otak Tino lumayan. Karenanya banyak yang heran ketika dia tak lolos ujian masuk universitas idamannya. Sejak itu, dia berpindah dari kota ke kota. Konon, mencari peruntungan.

Saat melihatnya di sini tiga tahun lalu, aku segera mengenalinya. Dia masih Tino yang sama: Tino yang teguh pendirian, juga makin keras kepala. Memikirkan itu, aku urung memberitahunya tentang rencana reuni SMA minggu depan. Tak mungkin dia mau datang. Kurahasiakan keputusan yang barusan kuniatkan: aku akan datang. Aku bosan tak terlihat. Aku bosan duduk di bangku belakang.

: : : : : : : :

UNTUNG pamanku meminjamiku Kijangnya. Tak mungkin aku menyambangi kafe hotel bintang lima ini dengan menumpang kopaja. Tak akan kubiarkan bajuku tercemari peluh dan aroma debu jalanan. Semuanya harus tampak sempurna, seperti foto-foto yang kupajang di Facebook sana.

Di kafe itu, aku segera mengenali teman-temanku. Harno tampak menyolok dengan tubuhnya yang tambun dan rambut keperakan. Vina, Karina, datang dengan suami dan anak-anak mereka. Kardiman yang baru dua hari tiba dari Jerman membagi-bagi gantungan kunci dan cokelat. Tersipu-sipu, aku menyembunyikan senyum ketika mereka bertanya mengapa badanku tak memuai seperti mereka. “Rajin berolahraga saja,” ucapku sambil menjejalkan sekeping keripik ke mulutku. Aku melirik Kardiman. Fasih sekali lidahnya mengeja nama-nama makanan asing ini kepada pelayan. Pad thai, tom yam, ah, entah apa lagi.

“Sama seperti dia,” kataku kepada pelayan yang menanyakan pesanan, sambil menunjuk Kardiman. Semua tertawa.

“Mana istri dan anakmu, Sam?” Kardiman menatapku sambil menyeruput jus berwarna merah muda.

“Oh, istriku sedang ada urusan kantor ke Singapura. Anakku ada di rumah sama neneknya.”

“Bisnis kamu sukses ya?”

“Begitu sajalah, Man. Lumayan.”

“Ada yang tahu kabar Tino, ketua kelas kita?” Bian tiba-tiba berseru dari ujung meja, memecah silang cerita tentang guru-guru SMA. Kardiman mengangkat bahunya. Entah mengapa, aku merasa jadi pusat perhatian semua mata.

“Kabarnya dia sekarang berwiraswasta. Aku juga sudah lama nggak ketemu dia,” sahutku. Kureguk teh hangat cepat-cepat. Untung saja, pelayan datang mengedarkan beberapa pinggan makanan.

“Jadi, gosip tentang dia punya bengkel sepeda itu bener, nggak?” Karina berseru di tengah kesibukan piring-piring makanan diedarkan. Aku mengangkat bahu. Yang lain membisu, sibuk memulai suapan pertama.

“Tanpa bantuan Tino pasti aku nggak lulus,” Kardiman menggumam, “Ingat nggak, dia menyalin jawaban ujian matematika di atas tisu, lalu kita edarkan dari bangku ke bangku?”

Harno, Bian, Vina, tergelak hingga bahu mereka terguncang. Aku mengunyah mie bertabur udang bernama pad thai itu pelan-pelan. Bian menyambung ceritanya tentang sukses contekan yang terus berulang hampir di setiap ujian. Entah mengapa, makanan ini terasa aneh di lidah. Aku meletakkan sendokku dengan diam. Lidahku yang ingin mengucapkan sesuatu seperti teriris tajam.

Aku ingat sesuatu yang seperti sengaja terlupa. Kisah sukses contekan itu bumbu yang berlebihan. Tino sempat kepergok membagi contekan, namun dia tak mengaku kepada siapa contekan itu diberikan. Tino dihukum menghormat tiang bendera di tengah lapangan upacara selama dua jam. Sendiri saja.

Aku ingat semuanya. Aku, si penghuni bangku belakang. Pad thai ini terlalu manis rasanya. Sup ikan bernama tom yam itu terlalu asam. Tak ada rasa yang akurat. Namun, hidangan ini lumat dengan lahap. Yang terlihat harus tampak sempurna, meskipun menyembunyikan borok atau luka. Menentramkan, seperti kenangan lama.

: : : : : : : :

KULETAKKAN dua bungkus pad thai itu di meja makan. Memang aku tak suka, tapi biarlah Yanti dan Restu mencicipi menu restoran hotel bintang lima. Aku akan tidur nyenyak malam ini, setelah mengukir prestasi merasai pad thai. Tersenyum geli, aku mengenang tawaranku untuk membayar semua tagihan di restoran tadi. Basa-basi basi. Tentu saja Bian memenangkan perdebatan soal pembayaran tagihan. Aku tahu dia tak akan membiarkan dirinya ditraktir teman. Pelan-pelan, kulepas sepatu kulit pinjaman dari paman yang sesungguhnya sangat kesempitan. Seandainya Tino hadir di reuni ini, semua lakon ini tak akan sesempurna ini.

Kubuka tirai yang menjadi pintu kamar, menguarkan aroma obat nyamuk bakar. Yanti tertidur dengan mulut terbuka, pasti kelelahan menjahit baju pelanggan. Dia tak tahu aku menghadiri reuni malam ini. Dia tak tahu suaminya telah mengobral cerita tentang seorang istri yang sedang dinas ke Singapura, di sebuah hotel bintang lima. Dia hanya tahu bahwa sewa rumah petak ini belum terbayar hingga dua bulan.

Mungkin aku akan memberanikan diri berbicara kepada Tino besok pagi. Siapa tahu dia punya sedikit uang yang bisa kupinjam. Kutahu dia selalu setia kawan, seperti tiga tahun lalu, saat dibantunya aku membuka kios majalah di depan bengkel sepedanya. Diajarinya aku mereparasi sepeda, seperti dulu saat diajarinya aku matematika. Selama aku mengenalnya, tak pernah dibiarkannya aku sendirian. Tak pernah dibiarkannya aku terpuruk di bangku belakang.[]

Urbana, 11 Januari 2009

: : : : : : : :

Sofie Dewayani menempuh studi tentang sastra anak-anak di University of Illinois, di Urbana-Champaign, Illinois, AS.

35 thoughts on “Bangku Belakang

  1. Jujur, saat pertama aku baca judulnya aku pikir ini judul film horor, hehehe.
    Karena ada film horor yg cukup ngetop – based on true story – berjudul “Bangku Kosong”

    Baca tulisan Mbak Sofie seperti mengulum Kacang Ting Ting , makanan ringan tapi berisi. Mantap!

    Thanks Her!:lol:

  2. maya vs realita
    facebook vs fakta
    masa lalu vs sekarang
    aktor vs sutrdara
    cerita yang sgt inspirasi untuk berani kompromi pada diri sendiri akan kenyataan dan menjadi orang yang sukses di balik kesuksesan orang lain tanpa di sadari

  3. tulisan bagus 😀
    ketika batas dunia nyata dengan dunia maya makin difasilitasi oleh teknologi, hummm…. izin di-share, kang Herry 😀

  4. Kalau aku langsung melihat cerita ini di Kortem, agaknya aku akan melewatkannya. Tapi, begitu Mas Herry yang memostingnya di sini, rasanya seperti ada sesuatu yang menuntunku untuk membacanya. Rasanya memang bisa jadi cermin.

  5. Kehidupan memang membutuhkan kontemplasi. “Supaya tak jatuh pada lubang yang sama,” begitu kira-kira kata orang bijak. Tulisan ini merupakan cermin diri dari hasil kontemplasi.

    Saya mau diri saya yang asli, bukan yang palsu! 🙂

Leave a reply to pecintalangit Cancel reply