Potret Kehariinian

Oleh Herry Mardian.

photoframe

SIANG tadi, ibu menghampiriku di tempat aku biasa bekerja. Wajahnya agak miris. Di tangannya ada tiga koran: Kompas, Republika dan Koran Tempo, koran langganan kami setiap hari.

“Coba lihat ini. Kamu sudah baca?” katanya.

Tidak biasa-biasanya ibu mendatangiku hanya untuk membicarakan sesuatu yang tertulis di koran. Pasti berita itu adalah berita yang benar-benar ‘mengganggunya’.

“Seorang ibu tega membunuh anak-anaknya yang masih kecil. Tiga orang sekaligus.”

Oh, itu. Ya, belakangan ini media pasti memuat kisah itu.

“Ya, saya sudah baca,” kataku. Mataku masih di laptop. Jemariku masih di keyboard. Setumpuk buku masih ada di sampingku, beberapa terbuka lembarannya. Pekerjaanku setiap hari. “Ada apa dengan berita itu, Bu?”

“Nggak, ibu nggak habis pikir. Bagaimana mungkin seorang ibu tega melakukan itu.”

“Ibu sudah baca semua beritanya?”

“Sudah. Kamu tahu nggak, padahal dia lulusan universitas anu dengan IP tiga koma dua sekian,” kata ibu menyebut nama sebuah perguruan tinggi terkenal di Indonesia. “Jadi pasti dia orang yang pintar.”

“Ibu yakin dia pintar?”

“Ya, kan kata koran IP nya tiga koma dua. Terus, suaminya juga aktivis masjid anu.” Kali ini ibu menyebut nama sebuah masjid di depan perguruan tinggi itu. Masjid yang terkenal banyak mewadahi aktivitas keislaman mahasiswa di kota itu. “Tapi dia melarang istrinya bekerja.”

He’eh,” aku menanggapi beliau. “Jadi, menurut ibu wanita itu wanita yang jahat ya?”

“Apa ada wanita baik yang tega membunuh anak-anaknya?”

Aku menghela nafas, pelan-pelan, supaya jangan sampai kedengaran beliau.

Ini sisi yang tidak aku sukai dari banyak media kita. Di sebagian acara televisi maupun rubrik di koran, banyak yang isinya menggiring persepsi pembaca untuk sampai pada sebuah penghakiman. Belum lagi acara-acara gosip dan koran tabloid, yang terkesan mendidik pembacanya untuk menikmati kisah jatuhnya kehidupan orang, pembongkaran aib-aib, mengangkat masalah rumah tangga orang lain, dan semacamnya. Kinda sucks. As if we were a sarcogyps calvus society, and have many media for our brain to eat.

Kuhentikan pekerjaanku. Lalu kuraih cangkir kopiku, sambil menghadap sepenuhnya pada Beliau, dia yang memberikan setengah nyawanya untukku ketika melahirkanku.

“Bu, seperti ibu tahu, saya kan suka motret. Motret orang.”

Ibu sedikit bingung dengan tanggapanku. Hubungannya ke mana? Itu mungkin kata yang ada dalam kepala beliau saat itu.

“Kalau ibu suka menikmati hasil foto saya, sebagus apapun, itu hanya sebuah potret. Kalau saya memotret pengemis yang wajahnya penuh penderitaan, itu adalah dia, pada saat itu, yang bisa tertangkap oleh kamera. Pada saat itu saja.”

“Hmm…”

“Potret seorang pengemis, tidak menggambarkan kenapa dia bisa menjadi seorang pengemis. Kita tidak bisa bilang bahwa dia seorang pemalas sehingga jadi pengemis, atau ibu tirinya dulu jahat, ia tidak diberi kesempatan bersekolah sehingga jadi pengemis yang wajahnya selalu menggambarkan penderitaan yang mendalam.

Bu, potret hanya sebuah data. Data yang diambil pada satu saat tertentu. Besoknya, data itu bisa berubah sama sekali. Kalau di foto sekarang wajahnya terlihat penuh penderitaan, sejam berikutnya bisa jadi saya berhasil memotret dia sedang tersenyum senang. Semua tergantung pada saya sebagai pemotret, pada momen mana foto itu diambil. Tapi satu foto tidak bisa menggambarkan seluruh momen kehidupan si pengemis. Foto adalah sebuah cara bercerita yang terbatas.”

Ibu masih terus memperhatikan.

“Berita juga begitu, bu. Seperti potret. Si wartawan hanya memotret apa yang nampak di matanya pada saat itu. Ia hanya menangkap gejala, menangkap indikasi. Kemudian ia menuliskannya atau menyiarkannya di televisi.

Ketika wartawan menangkap sebuah perilaku seorang wanita yang membunuh anak-anaknya, itu sama sekali tidak menggambarkan bahwa wanita itu jahat secara keseluruhan. Kalau tentang perilaku membunuhnya itu, oke. Memang itu perilaku yang, seperti ibu bilang, jahat. Tapi itu pun hanya perilakunya, belum tentu orangnya. Orang, jika berperilaku tertentu, pasti ada penyebabnya, ada pencetusnya. Ketika orang merasa dirinya terjepit, maka nalurinya bisa membuat seseorang mengeluarkan perilaku yang tidak terduga.

Dan ibu, satu potret itu sama sekali tidak bisa menggambarkan bahwa dia memang manusia yang jahat, dari lahir sampai matinya.

Bu, kita sebagai pembaca, jangan hanya melihat permukaannya. Yang harus kita lihat adalah apa yang ada di balik itu semua.

Ada berita artis anu yang menceraikan istrinya, kita langsung berfikir bahwa dia suami yang jahat. Tidak, belum tentu Bu. Masalah rumah tangga adalah masalah yang terlalu kompleks untuk diliput di satu atau dua berita, dan satu perceraian hanya sebuah indikasi dari sebuah kehidupan rumah tangga. Hanya indikasi. Bisa banyak faktor yang menyebabkan sebuah perceraian, dan siapa tahu itu memang langkah yang benar.”

Ibu masih memperhatikan juga. Kali ini agak merenung, agaknya ‘mencerna’ apa yang aku sampaikan.

“Kalau di kasus tadi, Bu. Di balik satu pembunuhan itu, ada banyak sekali kemungkinan lain yang memicu si ibu membunuh anak-anaknya. Kenapa hanya melihat pembunuhannya? Coba ibu juga pertimbangkan misalnya begini: wanita itu orang yang cerdas, pintar. Pernah melalui dua jurusan, Arsitektur dan Planologi, di universitasnya dengan IP tiga koma dua. Pinter kan?”

He’eh.

“Tapi setelah lulus, suaminya melarangnya bekerja. Padahal siapa tahu, dia sudah punya sebuah rencana besar setelah lulusnya. Tapi karena suaminya mengharuskannya tinggal di rumah, maka kehidupannya menjadi terasa seperti neraka buatnya. Ibu bisa bayangkan kalau orang sepintar itu, dengan semua potensi yang Allah berikan kepadanya, hanya dibolehkan suaminya untuk berurusan dengan dapur, cucian, setrikaan, dan mengasuh anak. Tentu akan frustrasi.”

“Iya juga.”

“Kemungkinan lain: si wanita menyadari bahwa ia harus melakukan semua itu, maksudnya meninggalkan apa yang bisa ia raih dengan potensinya, dan memilih jadi ibu rumah tangga, justru awalnya diniatkan sebagai sebuah bakti untuk suaminya dan anak-anaknya. Ini justru mulia kan? Hanya mungkin ia pada titik tertentu tidak kuat, dan terpiculah rasa frustrasinya.”

“Oke. Kamu benar. Kalau gitu, apa menurut kamu yang jahat justru suaminya?”

Lho, bukan Bu. Bukan begitu. Jangan jadi menghakimi si suami karena cerita saya dong. Kemungkinan lain yang saya katakan tadi hanyalah sebagai sebuah gambaran, bahwa kita tidak bisa menghakimi suatu persoalan yang dialami manusia hanya melalui pengamatan yang sebentar saja, dalam jangka waktu tertentu. Karena kemungkinannya sangat luas.

Wartawan hanya menuliskan satu kejadian. Sebuah potret. Tapi pembaca seharusnya menjaga hatinya untuk tidak berprasangka buruk hanya karena satu kejadian saja. Itu hanya indikator, seperti speedometer mobil. Kita tidak bisa menilai seperti apa desain mesin mobilnya, sekuat apa bautnya, hanya dengan melihat speedometer-nya.

Menurut saya, wartawan seharusnya menjaga untuk tidak menggiring persepsi pembaca, dan Ibu sebagai pembaca harusnya juga tetap tangguh untuk menjaga persepsinya supaya tidak menjadi terpengaruh karena membaca berita.

Juga ketika kita berinteraksi dengan orang lain. Kalau si A sekarang tingkah lakunya sedang menyebalkan, kita suka seterusnya bilang bahwa dia adalah orang yang menyebalkan. Padahal kan, dia menyebalkan hanya saat itu? Kemarin dia orang yang berbeda, dan besok pun dia orang yang berbeda. Sebaliknya, kalau si B orang yang sangat menyenangkan, itu yang kita potret saat itu. Besok dia akan berubah, dan kemarin dia adalah sosok yang berbeda. Bu, kita tidak akan pernah tahu bagaimana seseorang secara keseluruhan, walaupun itu dari seorang ibu terhadap anaknya.

Hiduplah dalam kehariinian. Persepsi kita mengenai hari ini, jangan diperpanjang ke arah kemarin dan besok. Jangan terlampau menggeneralisasi segala sesuatu, supaya bisa berprasangka baik. Supaya hati kita tetap netral. Yesterday has passed, tomorrow is another day. We live our life today, Bu.”

Kali ini ibu mengangguk-angguk.

“Kita bukan hakim, Bu. Kalau kita hakim, kita wajib memberikan keputusan, karena itu adalah tanggung jawabnya. Tapi kita kan bukan hakim? Untuk apa kita mengambil tanggung jawab untuk memberi sebuah penghakiman, kalau nanti jadi bahan pertanggungjawaban kita setelah mati? Walaupun itu hanya sebuah penghakiman yang di ujungnya berlaku bagi diri kita sendiri.

Setiap diri kita adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya. Kita, paling tidak, adalah pemimpin bagi diri kita sendiri. Ummat yang terkecil yang harus kita pertanggungjawabkan kelak, ya diri kita ini.” []

Jakarta, 16 Juni 2006, 15:18.


**gambar diambil dari sini

28 thoughts on “Potret Kehariinian

  1. Salaams dari London, tulisan anda indah sekali, concise, padat dan ada pesan moral dan petuah yang subhanllah, brillian.
    Mampir lah ke blogku yang simpel, cuma antara judul dan atikel tidak nyambung, maklum masih belajar. Selama bekerja….teteh

  2. Dear Mas Herry
    Indah sekali tulisan anda. Terkadang kita memang lebih suka melihat kesalahan orang lain, tanpa pernah mau berkaca, bagaimana kalau kita pada posisi yang sama, atau mengapa hal ini sampai terjadi. Paling mudah memang menudingkan telunjuk, walaupun arahnya belum pasti….

  3. terlalu Naif Anda.
    beginilah gaya bahasa para komunis yang atheis dalam membodohi serta mengaburkan masalah, sehingga hal utama bisa menjadi hal tambahan status permasalahannya. dan apakah sebodoh itu ibu yang anda jadikan illustrasi?
    hewan saja tidak pernah membunuh anaknya sendiri walau apapun alasannya, kejadian ini alasan pemicunya sangat sederhana “STRESS dan TAKUT”. Jika memang dia sebagai wanita yang bertanggung jawab seharusnya ikut bunuh diri.
    orang model begini lebih berbahaya dari pada program Nuklir Iran maupun Korea Utara.

  4. kejadian kayak gini sebenarnya udah lumayan banyak. contoh di USA sbb :

    http://en.wikipedia.org/wiki/Andrea_Yates
    Andrea Pia Yates (born July 2, 1964) is a woman from Houston, Texas, who is, as of 2006, currently awaiting retrial after previously being sentenced to life imprisonment for methodically drowning her five children (ages six months to seven years) in a bathtub on June 20, 2001. She was suffering from a severe case of recurrent postpartum depression, after having had her last baby. She immediately called 9-1-1 after the deaths and was arrested shortly thereafter.

    Yates, a native Houstonian who attended Milby High School, married Russell “Rusty” Yates and moved to the Clear Lake City neighborhood in Houston. Yates had five children and had killed them several months after the birth of her final child.

    Yates confessed to drowning her children and her defense asserted postpartum psychosis as the reason she committed the killings. Although all expert testimony agreed that Yates was clearly psychotic, Texas law requires that in order to successfully assert the insanity defense, the defendant must prove that he or she could not discern right from wrong at the time of the crime. In March 2002, a jury rejected the insanity defense and found Yates guilty. Although the prosecution had sought the death penalty, the jury rejected that option. The trial court sentenced Yates to life imprisonment with eligibility for parole in 40 years.

    On January 6, 2005, the Texas Court of Appeals reversed the convictions because prosecution witness Dr. Park Dietz, a Califonia psychiatrist, had given false testimony during the trial. Dietz stated that shortly before the killings, an episode of Law & Order had featured a woman who drowned her children and was acquitted of murder by reason of insanity. It was later discovered that no such episode existed; the appellate court held that the jury may have been influenced by his false testimony and that thus a new trial would be necessary.

    Some believe or believed that her husband, Russell “Rusty” Yates, an employee of the Johnson Space Center, was responsible for creating the conditions that culminated in the tragedy. Andrea’s psychiatrist, Dr. Eileen Starbranch, testified that she urged the couple not to have more children, to prevent future psychotic depression, but the procreative plan taught by the Yates’ spiritual mentor, Michael Peter Woroniecki, a doctrine to which Rusty Yates subscribed, insisted she should continue to have “as many children as nature allows”.

    Andrea Yates told her jail psychiatrist, “It was the seventh deadly sin. My children weren’t righteous. They stumbled because I was evil. The way I was raising them they could never be saved. They were doomed to perish in the fires of hell.” (This is consistent with Woroniecki’s teachings, which are best characterized as “hellfire preaching.”)

    On January 9, 2006, Yates again entered pleas of not guilty by reason of insanity. On February 1, 2006, she was granted release on bail on the condition that she be admitted to a mental health treatment facility. Currently, her retrial is set for June 26, 2006, 6 days after the 5-year anniversary of the deaths. The trial was re-set due to scheduling conflicts.

    Her ex-husband, Russell “Rusty” Yates, remarried on March 18, 2006, two days before her first scheduled re-trial.

    References

    * Bienstock, Mothers Who Kill Their Children and Postpartum Psychosis, (2003) Vol. 32, No. 3 Southwestern University Law Review, 451.

    * Keram, The Insanity Defense and Game Theory: Reflections on Texas v.Yates, (2002) Vol. 30, No. 4 Journal of the American Academy of Psychiatry and the Law, 470.

  5. πŸ™‚ makasih untuk semuanya 4 taking your time coming here and read it. The nice comments, the addition info, the (harsh) critic…

    @ dini, glad you like it.. πŸ˜‰

    @ teteh, i’m speechless 😳 …wow thanks a lot. 😎

    @ ynugrahaeni, the ordinary-extraordinary-woman who controls every piece episode of her life, thanks 4 put a link to this writing…

    @ wenny, iya memang paling gampang kalau mengarahkan telunjuk ke arah lain.. i really think we should try to put ourself in other’s shoes more…

    @ cutenclever, no, i’m not a communist or atheist (duh! πŸ™„ ) Naive? Prob’ly . Real cute and real clever comment… (btw, you sound just like someone i know in some mailing lists… )

    @ Mas Ari, percaya nggak mas, semalem saya juga nyari data tentang itu di wiki… saya baca juga kasus andrea yates. Thanks for took the time putting it here πŸ™‚

    @ glory, i dunno watta say also. Setuju sama tulisan itu (mudah-mudahan, hehe), ato setuju kalau saya komunis dan ateis? semoga nggak..

  6. agaknya “suka mengeneralisir sesuatu” memang sudah menjadi nama tengah kita… padahal ndak semua orang cina bisa main kung fu… *nyambung ndak ya? πŸ™‚

  7. ‘Tidak semua orang tiongkok bisa kungfu’ masih bisa disambungin πŸ˜€ ‘semua yang (mencoba) berpikiran baik itu naif,’ nah itu kurang tepat…

    Kaum naif bersatulah. 😎

    Naif delman istimewa kududuk di muka…. Naif, ba, ta, tsa, jim…

    ‘mengapaaa… aku beeginiiii…., jangan kaaaau mempertanyakaaan…’ (Naif).

  8. Tulisannya cukup greget juga. Kesannya semua kita punya “bakat” untuk melakukan hal seperti itu Naudzubillah.

    Tapi apapun alasannya, hukum tetap harus ditegakkan kan !?.

  9. Absolutely. Hukum harus ditegakkan, tapi persepsi atau prasangka, entah itu baik atau buruk, seharusnya tidak mewarnai sebuah tindakan penegakan hukum.

  10. Karena sudah dua kali aku mendapat email berisi forward-an blog yg ditulis saudara Herry Mardian ini, rasanya jadi pengen berkomentar sedikit. Soalnya di tulisan tersebut menyebut2 tentang wartawan, yg kebetulan menjadi profesi saya sekarang ini.

    Wartawan sekadar menyajikan fakta dan data yg penting aja. Untuk kasus ini, data2 mengenai kampus, IP, dan pekerjaan suaminya itu dianggap penting untuk memberikan gambaran latar belakang yang bersangkutan, baik latar belakang kondisi keluarga maupun pendidikan (faktor2 yg kira2 dpt menjadi pemicu si ibu melakukan pembunuhan itu). Setelah berita dicetak, apa pun pendapat dan pemikiran pembaca adalah hak sepenuhnya pembaca.

    Yang jelas, tidak ada maksud wartawan untuk menggiring2 pembaca ke arah mana pun. Justru dgn data yg selengkap mungkin itu, si penulis bermaksud agar pembaca tidak tersesat dalam pemikiran2 sempit dan praduga yg tidak pada tempatnya.

    Betul, bahwa motif sesungguhnya yg melatarbelakangi pembunuhan itu belum diketahui, karena polisi memang belum selesai mengusutnya. Betul bahwa harus ada praduga tak bersalah sebelum hakim mengetok palu. Dan betul sekali, ada terlalu banyak faktor yang membuat orang bisa melakukan sebuah pembunuhan, yang tidak mungkin dirinci dalam satu berita yg tempatnya sungguh sangat terbatas. Dan terlalu jauh juga untuk menilai, apakah perbuatan seseorang itu benar atau salah, baik atau buruk, hanya dari sebuah berita.

    Tetapi satu hal yang jelas, pembunuhan adalah perbuatan melanggar hukum. Dalam kasus ini, apabila kelak terbukti dalam pengadilan bahwa si ibu benar2 membunuh tiga anaknya, maka dia jelas2 telah melanggar hukum dan BERSALAH di mata hukum, dan harus mendapat hukuman.

    Sekali lagi, bahwa kemudian kejadian itu ditulis dan dimuat di koran, bukanlah sebuah maksud untuk menggiring2 pikiran dan analisis orang yang membacanya. Kewajiban media massa untuk mengabarkan sesuatu kejadian (apalagi kejadian besar) dan kondisi dunia terkini kepada publik. Dan peristiwa ibu membunuh 3 anaknya ini, jelas sebuah kejadian besar dan merupakan salah satu penanda zaman dan dunia yang kita tinggali sekarang ini.

    Mengenai pendapat si penulis blog bahwa berita tersebut hanyalah sebuah potret (atau bahkan penggalan sebuah potret) dari kisah panjang kehidupan si ibu, itu betul sekali. Memang tidak seyogianya kita menilai sesuatu berdasarkan data yang sepenggal-sepenggal. Sekali lagi, justru itulah alasan si wartawan untuk memasukkan data selengkap2nya yang berkaitan dengan latar belakang kehidupan si ibu.

    Tentu saja, sehebat-hebatnya seorang wartawan, dia tetap tidak bisa masuk ke dalam benak dan pikiran si ibu yang memutuskan melakukan perbuatan itu. Mungkin yang tahu hanya dia sendiri dan Yang Maha Tahu. Yang bisa diungkapkan dalam sebuah tulisan hanyalah indikator2 seperti yang dimaksud penulis blog ini. Sebagaimana kita juga hanya bisa membaca indikator2 dari orang2 dan hal2 di sekeliling kita selama ini. Itu pun, sekali lagi, bukan lah sarana untuk membuat kita bisa menghakimi seseorang.

    Namun, adalah hak semua orang untuk kemudian memandang suatu masalah dgn sudut pandangnya sendiri. Harapannya sih, dari berita-berita seperti itu, kita menjadi lebih hati-hati, waspada, dan mencermati hal-hal yg dekat di sekitar kita. Harapannya kita bisa “membaca” kejadian2 yang diberitakan itu, dan dari sana kita bisa mengambil makna dan hikmahnya. Paling tidak agar kejadian serupa jangan sampai terjadi lagi. Semoga.

    DHF

  11. Kalo yg di atas itu pendapat profesional saya, maka yg skarang ini pendapat pribadi saya. Apa pun alasannya, apa pun latar belakangnya, apa pun dasar dan motifnya, membunuh anak kandung sendiri adalah tindakan biadab yang tidak masuk akal sehat dan hanya mungkin dilakukan oleh binatang. Kecuali pelakunya adalah seorang nabi yang diperintah langsung oleh Tuhan untuk menguji keimanannya atau karena anak2 itu nantinya akan membawa bencana besar bagi dunia (which, in this case, I must doubt it).

    Jadi, seandainya nanti memang terbukti si ibu tersebut memang membunuh tiga anaknya, ya saya harus berpendapat, dia sudah tidak memenuhi syarat untuk disebut manusia dalam arti sesungguhnya. Ya, spesiesnya masih Homo sapiens, tetapi dia bukan manusia.

  12. Lho, wartawan bukannya harusnya netral tho mas? sebagai pengumpul data, bukannya mestinya ndak berat ke kiri atau kanan? apalagi setelah saya google, anda wartawan dari koran yang terkenal objektivitasnya lho. yah ini pendapat pribadi saya juga.

  13. buat mas Orangbiasa, wartawan justru harus tidak netral mas. Tetapi, wartawan harus independen. Netral beda sama independen lho. Wartawan harus memihak. Btw, boleh saya tau kenapa mas orangbiasa komen seperti itu? Apa ada isi komen saya yg menurut Anda tidak pada tempatnya?

  14. Different view is a prove of an original leader… That’s an awesome article!!!
    Yang jelas artikel diatas sudah mnggambarkan bahwa hampir seluruh masyarakat kita tidak objektif lagi… sekarang adalah jaman kekuasaan media massa… BAROMETER yang diciptakan untuk menjaga hati dan pikiran manusia semakin hari semakin bias…. Mungkinkah semua masyarakat Indonesia punya persepsi yang sama dgn mas Herry Mardian…? (insya4JJI)

    INDONESIA!!!

  15. Mas Herry Mardian, anda salah jika mengatakan …. (btw, you sound just like someone i know in some mailing lists… ) … i’m not that man. saya beberapa kali terima email tulisan anda tersebut, jadi terpaksa saya harus jawab agar mereka puas, dan saya jarang ikut beginian, sibuk cari do it mas.

    tapi pola berfikir yang anda tuliskan bergaya seperti para poli-tikus, apa memang ada rencana mo jadi poli-tikus ??? — ngomongnya sih sok moralis tapi keluarganya sendiri berantakan.

    kalau poli-tikus tidak terlalu banyak bicara tapi memberikan contoh tindakan yang baik mungkin negara kita ini bisa lebih baik, dan menteri-2-pun akan bertindak baik mikirin nasib rakyat. tuh lihat kasian tidak anak-2 yang cukup cemerlang otaknya dalam bidang Ilmu Pengetahuan jadi gak lulus gara-2 nilai UN untuk bahasa Inggris dapat 3, padahal IPA 8,5, matematika 9. itu yang salah siapa?

    menteri & politikus terlalu banyak mencontoh tapi tidak berfikir kemana arah pendidikan yang betul-2 sesuai untuk negara dan penduduk kita.

    mungkin ibu itu bingung berfikir karena menteri-2 pada berpolitik jadi lebih baik bunuh anaknya. begitu yaaaa logikanya dari pada nambah STRESS lagi.

  16. assalamualaikum
    uing lagi nih….
    saya pernah denger dai cilik di tipi bilang ” siapapun orang yang bermain di dekat sampah pasti bau nya akan nempel di orang itu….barang siapa bermain di kebun bunga yang wangi tentu juga wanginya akan nempel juga”
    Gitu lah katanya….tapi ternyata kata hati saya juga sama…ga bisa di bilang itu yg ngomong hanya anak kecil
    Kayanya dalam kasus pembunuhan 3 anak itu menurut saya kalo salah ya salah…ga bisa di bilang mau orang nya pinetr atau bodoh….asalusul kjahatannya gimnana….Yang pasti perbuatan nya itu loh…
    Malah saya sebagai seorang laki2 brpendapat….AlQur’an itu khusus untuk laki2 saja, perempuan adalah pengikut laki2 itu…..banyak surat yang mamanggil laki2…bukan perempuan….
    Tapi perempuan juga harus liat laki2 yang mana….ya yg panduannya AlQuran lah…bukan yg lain
    Itu pendapat loh……tapi karena perempuan itu juga manusia kaya laki2…jadi ya fungsi AlQuran sama akhirnya…..
    Perempuan yg bunuh anak karena kesal ke suami itu brengsek banget dong….ga bisa di bela lagi….
    Ingat aja tugas Istri apa…tugas Suamai apa…..yang akhirnya mati juga….
    Pendapat saja…

  17. Saya juga sempat berpikir seperti ‘ibu’ mas herry, tapi setelah baca tulisan mas herry , jadi bisa obyektif dalam memandang semua permasalahan. Kita bukan hakim, tapi marilah kita mengambil hikmah dari semua peristiwa yang terjadi, untuk dijadikan pelajaran buat kehidupan kita kedepan.

  18. Hehehe komentar oleh mas yang lucu dan pintar nyari duit bener2 kesukaan saya (pedas dan sedikit pahit seperti sayur pare buatan ibu..), saya setuju sekali mas.. mari kita doakan agar negeri ini ndak begini-begini saja dan mari berbuat sesuatu untuk memperbaikinya. Semua orang punya ide yang basically adalah πŸ’‘ lampu yang terang benderang, apalagi kalau disatupadukan, kalau lampu diadu nanti pecah.. jadi gelap.
    Semoga Allah selalu merahmati kita semua, apapun yang kita kerjakan sehari-hari.

  19. ya kadang kita sering menghakimi seseorang tanpa tahu akar permasalahan namun yang pasti untuk keamanan kita harus senantiasa menegakkan hukum yang berdasarkan tujuannya yaitu asas keadilan, kepastian hukum dan keman faatan. bisa kirim putusan hakim mengenai kasuss andrea pia yates g? saya harap bsok sudah da di email saya. atas tulisan yang menyentuh dan bantuannnya saya ucapkan terima kasih banyak.:roll::arrow:

Leave a comment