Allah Tidak Mengubah Keadaan Suatu Kaum Sampai Mereka…?

SALAH SATU penggalan ayat yang paling aneh dan janggal buat saya, adalah Qur’an Ar-Ra’d : 11, yang kerap diterjemahkan,

“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” Q. S. [13] : 11

Di ayat itu sangat janggal: usaha sendiri lebih dominan daripada kehendak Dia yang Mahakuasa. Di mana peran Allahnya, kalau begitu? Kita hanya mengubah diri sendiri saja, cukup. Pasti berhasil. Allah sih ngikutin aja.

Di sisi lain, ada hadits riwayat muslim,

“Sesungguhnya Tuhanku berkata padaku: Wahai Muhammad! Sesungguhnya Aku kalau sudah menentukan sesuatu maka tiada seorang pun yang sanggup menolaknya”. (H. R. Muslim).

Di hadits ini, jelas ‘dominasi’ Dia. Keperkasaan Dia, Dia yang tak bisa diganggu gugat. Kok, nggak klop?
Continue reading “Allah Tidak Mengubah Keadaan Suatu Kaum Sampai Mereka…?”

Jujur.

quran-image-1

Setiap anggota tubuh kita memiliki hak,
hak untuk mengenal Al-Qur’an dan tercahayai olehnya.

Lisan kita memiliki hak untuk melantunkan ayat-ayatnya.
Mata kita memiliki hak untuk memandang indahnya rahasia bentuk huruf-hurufnya.
Telinga kita memiliki hak untuk mendengar lantunan kalam-Nya,
dan akal kita memiliki hak untuk memahami kehendak-Nya.

Penuhilah hak rakyat kita itu dengan adil, sesuai waktunya.
Dan keadilan itu, takkan bisa diraih kecuali melalui taqwa kepada-Nya.

(Guru saya)

: :

KALAU kita belum memahami Al-Qur’an, jujur sajalah. Kita masih bingung dengan Al-Qur’an, misalnya. Mengapa susunannya tak teratur dan melompat-lompat. Mengapa tidak terasa teduh setelah membaca Qur’an, atau setidaknya, Al-Qur’an baru menjadi sebuah keteduhan psikologis yang sementara, yang akan segera hilang indahnya beberapa jam kemudian.

Dengan mengakui itu, setidaknya kita masih memiliki kebutuhan untuk kita panjatkan pada Allah ta’ala, bahwa kita masih belum mengerti di mana ‘kemu’jizatan’ Al-Qur’an. Kita butuh untuk memahaminya lebih dari sekedar makna interpretatif tekstualnya–yang semakin banyak diminum, bisa jadijustru akan semakin membingungkan kita.

Itu sebuah bibit penghambaan pada Allah ta’ala: memiliki sedikit rasa yang nyata bahwa kita tidak mengerti apa-apa tentang kitab-Nya, apa lagi tentang Dia. Dari sini akan lahir kerinduan yang jujur dari hati, ingin memahami kitab-Nya, dan ingin mengenal-Nya.
Continue reading “Jujur.”

Rumi: Mana yang Lebih Mulia?

above-below

SETIAP bangunan suci pasti didirikan dengan suatu tujuan tertentu. Sebagian dibuat untuk menampilkan kepemurahan pembangunnya. Sebagian agar pembangunnya dikenal, dan sebagian lagi mengharapkan imbalan-imbalan di akhirat kelak. Namun tujuan yang sesungguhnya dari bentuk-bentuk penghormatan terhadap para kekasih Allah dan memperindah makam-makam mereka, seharusnya adalah Allah. Para kekasih Allah sendiri tidak peduli dengan sikap-sikap pemuliaan semacam itu. Kemuliaan mereka adalah karena yang di dalam mereka sendiri sudah mulia, dan kemuliaan itu sudah memancar dengan sendirinya–bukan karena dimuliakan orang lain. Jika sebuah lentera harus ditempatkan di tempat yang tinggi, sesungguhnya itu karena kepentingan orang lain yang membutuhkan jangkauan cahaya yang lebih jauh, dan bukan karena lentera itu merasa lebih mulia dari lentera lainnya. Apakah di tempat tinggi atau rendah, dimanapun dia, keinginan sebuah lampu hanyalah memancarkan cahaya. Cahayanya harus menjangkau mereka yang membutuhkan. Seandainya matahari yang ada di langit itu sekarang berada di bawah kita, ia tetap saja matahari yang sama. Namun dunia kita yang menjadi gelap. Matahari ada di atas, bukan karena kemuliaan dirinya, namun demi kepentingan makhluk lain. Maka mudahnya, sama seperti itu, para kekasih Allah sudah melampaui ‘atas’ dan ‘bawah’, ‘tinggi’ dan ‘rendah’, maupun pujian-pujian penghormatan dari orang lain.

Kita sendiri, ada saat-saat ketika setitik cahaya dari alam jiwa mengenai kita atau terwujud dalam diri kita, pada titik itu kita tidak akan peduli dengan ‘tinggi’ atau ‘rendah’, ‘mulia’ atau ‘pembesar’, atau bahkan terhadap kepentingan diri kita sendiri, hal yang terdekat dengan diri kita. Maka bagaimana mungkin para kekasih Allah, yang menjadi sumber cahaya dan sumur air hikmah itu, masih terikat pada ‘tinggi’ atau ‘rendah’? Kemuliaan bagi mereka adalah sirna, lenyap dalam apa yang Allah kehendaki bagi dirinya, sementara Allah sama sekali terlepas dari ‘tinggi’ dan ‘rendah’. ‘Tinggi’ dan ‘rendah’, ‘atas’ dan ‘bawah’ adalah untuk kita yang ada dalam eksistensi fisik, pada kita yang terpenjara dengan kedudukan ‘kaki’ dan ‘kepala’.
Continue reading “Rumi: Mana yang Lebih Mulia?”

Sedekah: Sebuah Renungan

helping

SEGALA sesuatu ada sedekahnya. Kenapa? Karena kita tidak memiliki segalanya seratus persen. Selalu ada hak orang lain di dalamnya. Katakanlah, mungkin 2,5 persen. Saya juga nggak tahu angka persisnya.

Segala sesuatu ada sedekahnya. Sedekah harta, tentu kita sudah tahu semua. Sedekah bagi perut (haknya perut) adalah dipuasakan. Sedekah bagi pikiran, haknya pikiran, adalah dibawa hening dan merenung. Sedekah rumah adalah ruang tamunya: untuk menerima tamu. Sedekah bagi wajah adalah senyum dan bermuka ramah. Sedekah bagi tulang belulang kita adalah shalat dhuha. Sedekah bagi ruangan adalah pernah digunakan shalat atau membaca quran di dalamnya.

Kalau kita tidak pernah memberikan hak perut, misalnya, suatu saat tentu ia akan bermasalah. Bukan karena ia marah. Tapi, simply, karena membuatnya bekerja tanpa henti itu bertentangan dengan naturnya. Jadi wajar kalau ‘rusak’. Itu satu contoh saja.

Sedekah kendaraan? Memberi tumpangan. Sedekah tenaga adalah membantu orang. Sedekah waktu, sedekah kesehatan, sedekah kemampuan, sedekah keahlian. Jika kita seorang dokter, misalnya, harus ada saat di mana kita berperan sebagai dokter tanpa dibayar. Mungkin untuk orang kecil, sebulan sekali? Teknisnya, terserah masing-masing.

Seorang raja akan dihukum berat kelak, jika hak-hak rakyatnya tidak terpenuhi. Kita mungkin bukan raja di negeri kita–dihukumi tentang ini akan menjadi urusan para pemimpin kita. Namun kita adalah raja di jasad kita masing-masing. Kita juga akan dihukumi, jika hak-hak para penduduk negeri kita ini kita lalaikan. Kita akan dihukumi terkait diri kita dan apa yang kita miliki (baca: rakyat kita): harta kita, jasad kita, perasaan kita, ucapan, pikiran, lintasan hati, tenaga, dan lainnya. Seorang ibu akan dihukumi terkait diri, anak, dan rumah tangga. Seorang ayah akan dihukumi terkait diri, anak, istrinya. Seorang atasan akan dihukumi terkait bawahan-bawahannya. Dan seterusnya.

Kalau kita lalai bersedekah, Continue reading “Sedekah: Sebuah Renungan”

Pesta Rakyat

“Sesungguhnya Rajab adalah bulan Allah, Sya’ban adalah bulanku, dan Ramadhan adalah bulan ummatku,” Sabda Rasulullah.

Allah menjadikan Isra’ Mi’raj terjadi di bulan Rajab. Nisyfu Sya’ban, malam penentuan takdir seorang manusia selama setahun kedepan, terjadi di bulan Sya’ban. Dan Allah meletakkan Laylatul Qadr, malam penentuan kadar diri seseorang di mata Allah ta’ala, ada di bulan Ramadhan.

Rajab, bulan Allah, ibarat bulan pesta jiwa dan hati yang diadakan Sang Raja sendiri. Jamuan-Nya di bulan ini adalah jamuan bagi jiwa dan hati yang langsung dari Sang Raja sendiri. Jamuannya adalah jamuan yang termewah dan paling istimewa. Tidak semua orang peduli dengan Rajab–isyarat bahwa Sang Raja memang tidak mengundang semua orang: Yang Mulia hanya mengundang mereka yang sudah sangat ingin menemui-Nya. Tanpa pengumuman besar-besaran, undangan-Nya pun disampaikan secara diam-diam: lewat bisikan hati para tamu-Nya. Pesta Rajab adalah sebuah pesta yang diadakan diam-diam, undangan terbatas, namun khidmat dan anggun.
Continue reading “Pesta Rakyat”

Dungu


Saat kulahir dari rahim ibuku
kedunguan dan kebodohan lahir bersamaku.
Saksikanlah: kedunguan adalah niscaya bagiku
dan kebodohan telah Dia tuliskan di dahiku.

Dungu dan bodoh adalah jubahku
melihatnya, mereka yang merasa nabi akan lari dariku
dan para pengikutnya akan terbirit lari
melihatku, seperti wabah

Dungu dan bodoh adalah baju taqwaku
jubah yang kukenakan dihadapan-Nya
sebagai tanda kefakiranku:
aku membutuhkan Engkau, Tuhanku
jangan lagi murkai aku.

Continue reading “Dungu”

Allah Maha Menyempitkan dan Melapangkan

fisherman_1

SIANG dan malam engkau berusaha mencari ketentraman dan kedamaian. Itu tidak bisa dicapai di dunia ini. Meski begitu, tidak sekejap pun engkau akan berhenti mencarinya. Kenyamanan semacam itu di dunia ini, adalah seperti kilatan petir yang menyala dan hilang dalam sekejap mata. Namun begitu, seperti apa kilatan petir itu? Kilatan yang disertai dengan derasnya air yang jatuh, penuh dengan tetesan hujan, penuh dengan salju. Kilatan yang kemunculannya disertai dengan derita.

Misalkan seseorang ingin sampai di kota Anatolia. Jika ia berangkat dengan menempuh jalan yang mengarah ke Caesarea, sekeras apapun ia berupaya, ia tidak akan pernah sampai ke Anatolia. Namun jika ia berjalan dengan menempuh jalan yang memang mengarah ke Anatolia, walaupun ia adalah seseorang yang cacat dan lemah, ia pasti akan sampai pada tujuannya, karena Anatolia memang ada di ujung jalan itu.

Sama seperti itu, tak ada apa pun di dunia ini yang bisa diraih tanpa penderitaan, dan demikian pula jika kau ingin mencapai apa pun di alam berikutnya. Maka, arahkan segala kepayahan dan penderitaanmu dengan memandang kehidupanmu di alam berikutnya, sehingga tidak ada upayamu yang terbuang percuma.

Di masa Rasulullah saw, seseorang berkata, “Ya Muhammad! Aku tidak menginginkan agamamu lagi! Demi Allah, ambil kembali agamamu ini! Sejak aku memasuki agamamu ini, tidak pernah sehari pun aku bisa memperoleh ketenangan. Kekayaanku lenyap, istriku pergi, orang tak lagi menghormati aku, kekuatanku hilang, hasratku lenyap!” Rasulullah menjawab, “Allah melarangku. Ketahuilah, kemanapun agama kami pergi, ia tak akan kembali sebelum mencabut seseorang dari akarnya dan menyapu bersih rumahnya.”

56_79.1

“Dan tiada yang menyentuhnya, kecuali hamba yang disucikan.” [Q. S. 56 : 79]

Jika kau mengatakan, “Wahai Muhammad! Ambil kembali agamamu ini, karena aku tak pernah lagi tenang.” Maka, bagaimana mungkin agama kami akan melepaskan seseorang, sebelum berhasil membawanya hingga mencapai tujuan?
Continue reading “Allah Maha Menyempitkan dan Melapangkan”

Ulasan Buku “Guru Sejati dan Muridnya”

guru sejati muridnya

Judul: Guru Sejati dan Muridnya
Karya: Bawa Muhaiyaddeen
Alih bahasa: Herry Mardian

“Sejengkal seorang hamba dekati Tuhannya, sehasta Tuhan akan datangi. Selangkah ia datangi, seribu langkah Ia akan berlari menjemput.”

Sebuah hadits (qudsi) yang sungguh menentramkan. Dia Maha Baik. Tapi begitulah agaknya bila seorang hamba… kembali. Bila kita datang dan mengetuk, pasti Ia membukakan pintu. Bahkan sekerling lirikan, sejumput doa yang tulus, tak akan disia-siakan. Ia menarik, memikat, dengan segala cara. Dibuat-Nya kita betah berkumpul di sebuah pengajian, atau membaca berlama-lama tentang kebaikan, atau senang berderma diam-diam. Jika kita miskin, Ia akan cukupkan. Jika kita terlampau kaya, Ia pun akan cukupkan. Continue reading “Ulasan Buku “Guru Sejati dan Muridnya””

“Cinta Tak Sampai, Terlunta-lunta, Menunggu” – Yunus Emre

Yunus Emre

Wahai diriku,
jalan yang ditempuh para
‘arif billah
lebih sulit terlihat bahkan dari yang paling samar.
Yang menghalangi jalannya Raja Sulaiman, adalah seekor semut. [1]

Siang malam air mata sang pecinta
mengalir tanpa henti
memerah darah
merindu Sang Terkasih.

“Kekasih yang cintanya tak kesampaian,
terlunta-lunta kesana-kemari,
menunggu cintanya berbalas,” [2] kata mereka kepadaku, dulu.

Continue reading ““Cinta Tak Sampai, Terlunta-lunta, Menunggu” – Yunus Emre”

Ibadah dan Khalwah

“Khalwah (menyendiri bersama Allah) dan ibadah saling berdampingan. Jika salah satu tiada, maka yang lainnya tiada pula.” – Imam An-Nifari.

Jadi, meski seseorang sedang melakukan ibadah, namun sesungguhnya bukan ibadah jika dalam melakukannya hati tidak sedang bersama Allah.

Sebaliknya, jika secara perilaku mungkin tampak tidak sedang melakukan ibadah, atau sedang bersama orang banyak, namun ketika itu hatinya sedang bersama Allah, itu adalah ibadah.